Terbang Tinggalkan Tara
oleh Alda Aladawiyah
Sang surya bersinar begitu cerahnya. Aku
terbangun dari tidurku dan melihat jam digital di samping tempat tidurku. Jam
tujuh lewat lima. Aku memejamkan mataku lagi untuk tidur kembali. Tapi... tunggu
dulu. Tiba-tiba aku tersadar. APAA!?! Jam tujuh lewat lima? Itu artinya aku
sudah telat lima menit ke sekolah! Hari ini ulangan fisika! Aku langsung
melompat menuju kamar mandi dan bersiap-siap menuju ke sekolah. Bahkan sarapan
yang ada di atas mejapun tak kusentuh sama sekali.
Sesampainya di sekolah, kulihat
gerbang sekolah akan ditutup oleh pak satpam. Aku berlari secepat kilat
mencegahnya. Syukurlah Pak satpam mengizinkanku masuk. Aku berlari menuju kelas
XII IPA 1. Kulihat mata semua anak
terpaku pada kertas ulangannya, termasuk Tara. Aku mengambil nafas panjang dan
masuk. Pengawas mempersilahkanku duduk, walaupun dengan tatapan tidak senang.
Aku duduk di samping Tara. Kulihat
jam tanganku. Waktu tersisa satu jam lagi. Kulihat kertas ulangan Tara masih
kosong. Aku hanya tersenyum dan mulai mengerjakan fisikaku. Aku tahu Tara selalu
kesulitan dalam mapel fisika, tapi dia selalu menolak tawaranku untuk
memberikan jawaban kepadanya. Dia ingin
berusaha sendiri.
***
Bel istirahat berbunyi. Aku dan Tara segera
menuju kantin sekolah. Aku sudah sangat lapar. Maklum, aku tadi belum sempat sarapan.
Aku senang menghabiskan waktu berdua
dengan Tara di kantin ini. Tempat ini adalah tempat favoritku di seluruh dunia.
Tara menyatakan cintanya padaku di kantin ini, di depan semua teman-temannya
sambil menyanyikan lagu yang romantis dengan gitarnya. Tara adalah cowok paling
romantis yang pernah kukenal. Dia selalu bisa membuat kejutan padaku yang tak
pernah aku bayangkan.
Pernah suatu ketika, Tara memintaku
untuk menutup mataku dengan saputangan. Dia mengajakku ke sebuah tempat. Dan
ketika aku membuka mataku, kulihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Aku
berada di sebuah danau yang indah sekali. Kami bercengkrama sepanjang malam.
“Gimana fisikanya tadi?” tanyaku
sambil memakan baksoku. Aku baru sadar bahwa pikiranku telah melayang
kemana-mana. Padahal orang yang kupikirkan berada tepat di depanku.
“Setidaknya aku bisa jawab... Kamu
tahu kan aku nggak suka hitung-hitungan..”
Tara memang tak pernah suka mapel
eksak. Dia masuk jurusan IPA karena paksaan orang tuanya. Dia lebih suka pada
olahraga, terutama basket. Banyak kejuaraan basket yang diraihnya bahkan ke
tingkat Nasional. Ya, semua orang punya kelebihan di bidang masing-masing.
Aku sendiri sangat menyukai fisika. Aku
sering mengikuti olimpiade fisika mewakili sekolahku. Dan tak jarang aku
menyabet juara satu dan maju ke tingkat nasional. Kesibukanku belajar untuk
olimpiade dan persiapan di karantina membuatku semakin jarang menghabiskan
waktu berdua dengan Tara.
“Haai Tara.. Haai Lidya..” sapa
seorang cewek yang menghampiri kami berdua dan duduk di samping Tara. Dia
adalah Manda, sahabatku dan juga sahabat Tara. Dia ketua cheerleaders, dan
dia-lah yang membantu Tara agar bisa dekat denganku.
“Hai juga Manda,” kataku balas
menyapanya.
“Kalian berdua tumben disini berdua..
Biasanya sibuk sama urusan masing-masing,” kata Manda dan duduk di samping
Tara.
“Iya.. mumpung sama-sama punya waktu
bareng kenapa nggak digunakan semaksimal mungkin?” kataku. Tara hanya
tersenyum.
“Happy birthday ya Manda..” kataku kepada
Manda. Manda tersenyum. Aku menatap
Tara, memberi isyarat agar Tara mengucapkan kalimat yang sama.
“Apa?” tanya Tara padaku tanpa rasa
bersalah.
“Nggak ngucapin?” tanyaku.
“Udah.. Jauh lebih dulu dari kamu
malah.. “
“Oh ya.. Aku mengundang kamu ke acara
ultahku nanti malam..” kata Manda kepada Tara. Aku berdeham. “Dan kamu juga
tentunya Lidya..”
“Dateng yaa.. Jangan sampai nggak,”
kata Manda. Dia tersenyum kepada kami berdua dan pergi. Aku menatap Tara dengan
tatapan meminta penjelasan. Tampaknya Tara mengerti apa maksudku.
“Kukira kamulah orang pertama yang mengucapkan
selamat ultah kepadanya..” kata Tara tanpa memandangku.
“Memangnya harus kayak gitu?”
“Bukankah kamu sahabatnya?” kata Tara tanpa
memandangku. Itu tampak lebih seperti pernyataan, bukan pertanyaan. “Kamu
selalu sibuk dengan lomba sana-sini. Olimpiade, karya ilmiah, cerdas cermat, apa
itu laah.. Kukira kamu bahkan lupa kalau hari ini ulang tahunnya,”
Aku terdiam. Memikirkan kata-kata
Tara. Kenapa dia begitu peduli pada Manda? Tiga bulan yang lalu, Tara bukanlah
orang pertama yang mengucapkan selamat ultah padaku. Bukan juga Manda. Oh
ayolah, masa hal seperti ini saja dipermasalahkan?
“Aku mau masuk kelas duluan,” kata
Tara sambil berlalu pergi. Ekspresinya datar. Ada apa dengan Tara? Kataku dalam hati.
***
Bulan sabit dan bintang-bintang bergantung
menghiasi indahnya malam ini. Aku memakai gaun hitam dan menyanggul rambutku. Aku
berjalan menuju rumah Manda. Rumah Manda tampak meriah sekali. Dari kejauhan
aku melihat Tara. Dia memakai jas cokelat. Aku berlari-lari kecil
menghampirinya.
“Kok kamu tumben nggak pakai baju
yang sewarna sama aku?” tanyaku heran.
“Bajunya lagi dicuci..”
“Ooh.. Ya sudahlah..” kataku mencoba
memakluminya. Aku dan Tara berjalan menuju rumah Manda. Malam itu Manda tampak
anggun sekali. Dia memakai gaun merah selutut dan rambutnya yang panjang
dibiarkan tergerai indah. Pita satin berwarna merah yang menghiasi kepalanya
makin membuatnya anggun. Aku dan Tara mengucapkan selamat kepadanya dan
mengobrol bersama. Teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama.
“Tara, ke meja bundar itu yuk.. Aku
mau ambil minum,” ajakku sambil menunjuk meja bundar berwarna merah di tengah
taman.
“Kamu aja dulu. Aku mau ngobrol bentar
sama Darwin,” kata Tara. Akhirnya aku berjalan ke meja bundar itu sendirian.
Aku menikmati indahnya malam ini.
Kulemparkan pandanganku ke arah sekitar. Sudah hampir setengah jam aku berdiri
di samping meja ini sendirian. Aku melihat Darwin yang tak jauh dari tempatku.Tapi
Tara tidak tengah bersamanya. Di mana
Tara?
***
Saat jam istirahat, aku memilih
berdiam diri di kelas. Hari ini Tara tidak masuk sekolah. Dia mengikuti lomba
basket tingkat nasional di Jakarta. Tadi pagi aku mengiriminya makanan lewat
ibunya, tapi ibunya bilang dia sudah berangkat. Sungguh hal yang sangat disesalkan.
Padahal aku sendiri yang memasak makanan itu khusus untuknya.
“Lidyaaa....” seru seorang perempuan yang
berlari mendekatiku. Manda.
“Kenapa, Man?” kataku.
“Selamat yaa..”
“Selamat atas apa?” tanyaku heran. Perasaan
aku belum melakukan apa-apa hari ini.
“Nilai fisikamu tertinggi
seangkatan..” kata Manda sambil berdecak kagum.
“Ooh.. Masa?” kataku. Sebenarnya
sudah biasa sih,tapi kucoba untuk pura-pura kaget. “Kamu dapet berapa?”
“Pas-pasan Lid, tapi sudahlah.. Si Tara
tumben nilainya bagus..”
“Emangnya dia berapa?” tanyaku
penasaran. Tara biasanya mendapatkan nilai jelek di mapel fisika.
“Sembilan puluh! Nggak sia-sia dia
belajar semalaman..”
Pantas saja Tara tak pernah mau
kuberi jawaban. Buktinya dia bisa meraihnya sendiri, bukan?
***
Bulan demi bulan berlalu. Aku lulus
ujian dengan nilai yang sangat memuaskan. Semua guru dan teman-teman memuji
keberhasilanku. Tapi satu-satunya orang yang kuharapkan kehadirannya tak ada di
sini, di sekolah ini. Aku telah mencoba beberapa kali menghubunginya. Namun tak
pernah ada respon. Dimana dia?
Hari hari berlalu. Hari ini aku akan
terbang ke Australia. Aku akan kuliah di sana. Meninggalkan tanah air tercinta.
Dan juga meninggalkan Tara. Kuusir segala kalut yang ada di hatiku. Aku
melakukan ini demi kebaikanku. Aku mantap melangkahkan kaki ke rumah Tara. Mengucapkan
kata perpisahan kepadanya.
Kulihat ada laki-laki keluar dari
rumah Tara. Itu Darwin, sahabat Tara. Dia melihatku dengan ekspresi kaget. Dia
berjalan melaluiku, tapi beberapa detik kemudian berbalik ke arahku.
“Kamu masih mempertahankannya?” tanya
Darwin padaku.
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Kamu selama ini nggak pernah sadar
kalau selama ini Tara mempermainkanmu?” kata Darwin. Aku mengernyit, semakin
tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. “Sebenarnya aku tahu tentang ini
sejak dulu, tapi Tara menyuruhku untuk tutup mulut. Dia bilang jika aku
mengatakan hal ini kepadamu, itu akan merusak hubungan kalian dan persahabatan
kalian..”
“Merusak hubungan dan persahabatan?
Maksudmu apa?” Kepalaku semakin dibuat pusing dengan ucapannya.
“Tapi ketika aku melihat ketulusanmu
dengannya, aku semakin mantap untuk berkata sejujurnya, agar kamu tahu yang
sebenarnya kalau Tara itu seperti apa..” kata Darwin. Dia menatapku sesaat dan
mengerti atas kebingunganku. “Kalau kamu tak mau tersakiti, jangan temui
Tara..” Sebelum aku sempat berkata-kata, Darwin telah melesat pergi dengan
motornya.
Aku tak mengerti maksud Darwin. Hari
ini aku tetap harus bertemu dengan Tara. Hari ini aku akan berpisah dengannya. Ketika
aku masuk ke dalam rumahnya, aku melihat Tara bersama seorang perempuan yang
sangat kukenal. Mereka berdua bercengkrama dengan mesra di teras rumah. Dan
mereka berdua berpegangan tangan.
Perempuan itu adalah Manda. Sahabatku
sendiri. Hatiku teriris-iris melihatnya. Aku merasakan air mataku berlinang
membasahi pipiku. Aku diam terpaku melihat keduanya. Mereka berdua menyadari
diriku ada disitu. Tara berlari menghampiriku. Tapi aku sudah berlari
meninggalkannya. Aku tak perlu penjelasan apa-apa. Aku tak mau mendengar sehurufpun
yang keluar dari bibirnya. Tara dan Manda. Sama-sama pengkhianat.
Aku sekarang berada di pesawat. Aku
akan terbang, meninggalkan Tara. Meninggalkan cinta. Lebih tepatnya membuangnya
jauh-jauh. Aku tak akan menyisakan ruang sedikitpun untuknya. Tak akan pernah.
***
Aku memandang indahnya Danau Victoria
di New South Wales yang bermandikan cahaya matahari sore. Aku tersadar bahwa
aku sudah tiga bulan berada di negeri kangguru ini. Aku melihat sepasang
kekasih yang duduk di bangku taman. Mereka tampak mesra sekali. Saling
menyayangi satu sama lain.
Tiba-tiba aku teringat wajah Tara. Ketika
ia menyatakan perasaannya padaku. Ketika ia mengajakku ke danau. Saat kita
menghabiskan waktu bersama. Tapi ingatan itu segera kubuang jauh-jauh. Bahkan
Tara saat ini pun tak akan pernah mengingatku.
Tak peduli seburuk apapun masa lalumu, cintai dirimu. Hari ini kamu bisa
memulai yang baru. Berikan yang terbaik untuk masa depanmu.
0 komentar:
Posting Komentar