Ngaben, Upacara
Kematian di Bali
By
Ainur Rohmah Al
adawiyah
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai
upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang
tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben
sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini
dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah
menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut
Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ngaben
atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah
atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan
berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini
juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian
juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara
setelah kematian itu.
Secara
garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca
Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan
memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan
Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam
Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira
(badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di
alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya
ngaben tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben.
Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam
waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu
Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak
mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada
prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk
menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga,
menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari
setahun. Tetapi sebenarnya dengan mengambil jenis ngaben sederhana yang telah
ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan oleh
siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting tujuan utama upacara
ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa
(jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem
(dikubur) di setra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak
diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses
pengembalian Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam
upacara mependhem ini. Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya
besar kerap tidak bisa ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak
benar yaitu : Ngaben berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa
mempunyai dana berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan keliru ini
kemudian mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak bisa ngaben,
lantaran biaya yang terbatas. Akibatnya leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal
ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Upacara
pembakaran jenazah di Bali mewah dan mahal. Lebih tinggi status seseorang,
persiapan megah dan dekorasi yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Oleh karena
itu, jenazah Almarhum harus dikubur untuk beberapa saat sebelum keluarga dan
masyarakat bisa mengumpulan dana yang cukup. Ini merupakan adat yang umum bagi
masyarakat biasa untuk menunggu pembakaran jenazah seorang bangsawan atau
pemuka agama yang nantinya digabung dalam ritual ngiring untuk pembakaran
jenazah keluarga mereka jika diizinkan.
Beberapa
hari sebelum hari pembakaran, jiwa Almarhum yang mengembara dipanggil untuk
bersatu dengan tubuhnya, biasanya disimbolkan oleh patung orang, dibawa ke
rumah untuk dimandikan berulang-ulang, dipersiapkan oleh anggota keluarga.
Pada
malam pembakaran, para pendeta mempersembahkan persembahan pada kekuatan
supranatural yang diminta untuk membuka jalan bagi jiwa, sementara para anggota
keluarga berdoa untuk membebaskan jiwa Almarhum ke surga.
Hari
berikutnya, jenazah dibawa ke alam terbuka dimana pembakaran diadakan, yang
biasanya setelah matahari melewati titik puncaknya. Ketika semua tubuh sudah
terbakar, anggota keluarga mengumpulkan debu-debu dan tulang Almarhum, dan
kemudian patung orang yang meninggal tersebut dibawa dalam prosesi di laut atau
sungai, kemudian debu dituangkan ke dalam air, kedalam perlindungan dewa laut.
Bulan-bulan
atau tahun-tahun berikutnya setelah pembakaran, ketika dana sudah cukup
terkumpul, akan ada upacara-upacara lagi untuk meyakinkan pemisahan jiwa yang
sempurna dari ikatan keduniawian, bertujuan untuk melepaskan jiwa ke surga.
Pada upacara terakhir disebut upacara nyagara-gunung, keluarga mengekpresikan
terima kasih mereka pada dewa laut di candi-candi gunung dimana jiwa yang suci
diabadikan di candi, untuk menunggu kelahiran kembali atau kebebasan dari
lingkaran kelahiran kembali.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara
ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1.
Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke
sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu
keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam
Atmanam)
2.
Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan
segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada
asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian
Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang,
daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata,
dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang
membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3.
Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga
telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian Upacara
Ngaben
Ngulapin Upacara untuk memanggil Sang Atma.
Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah
yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat
berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan
di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin Upacara memandikan dan membersihkan jenazah
yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah).
Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati
di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan
perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari
bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang
mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum
Kajang Kajang adalah selembar
kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta
atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan
keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan
cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para
kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga
mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
Gambar
Kajang Pande
Ngaskara Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang.
Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu
dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
Mameras Mameras berasal dari kata peras yang
artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila
mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang
akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
Papegatan Papegatan berasal dari kata pegat, yang
artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan
cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan
sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara
ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari
upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan
diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan
dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini
akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga
putus.
Pakiriman
Ngutang
Setelah
upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat,
jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara
pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda
biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat
akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara
Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara
angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak
berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol
mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu
perputaran ini juga bermakna:
Berputar
3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga.
Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan
lingkungan masyarakat.
Berputar
3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
Sarana Pengusungan
Jenazah
Ngeseng Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah
tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji
dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang
memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak
diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah
jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas
dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
Nganyud Nganyud bermakna sebagai ritual untuk
menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan
simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan
di laut, atau sungai.
Makelud Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari
setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah
membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang
melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil
dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun
di tengah hutan.
Dari beberapa penelusuran terhadap
berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis
ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain
Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis
upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut
Jenis – jenis Ngaben Sederhana
Mendhem
Sawa
Mendhem
sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih
diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal
seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat
filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja
alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang
filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal
dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara
ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu
diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi
mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu
harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi
Durga).
Ngaben
Mitra Yajna
Ngaben
Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna
berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang
diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang
pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda
Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini.
Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi
nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut
ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan
di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
Pranawa
Pranawa
Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan
huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari
sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan
pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari
pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah
jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru
meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa
baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
Pranawa
Bhuanakosa
Pranawa
Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa
Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra.
Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
Swasta
Swasta
artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya)
tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah
kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan
ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan
(sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit,
benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong.
Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai
urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan
upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana
tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi
yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat
dilakukan di Jaba Pura Dalem.
Untuk
masyarakat Bali, hanya melalui pembakaran jenazahlah jiwa dapat dilepaskan dari
dunia sementara untuk mendapatkan kehidupan setelah kematian. Dan untuk
menjalani ini beberapa upacara dan ritual harus diikuti, terutama ketika
keturunan kerajaan meninggal. Pada kematian tubuh harus dibakar oleh api karena
jiwa harus kembali pada lima elemen yang dikenal dengan Panca Maha Buta (bumi,
angin, api, air dan eter) hal ini
bertujuan untuk mengirim jiwa pada kehidupan setelah kematian.
Hanya
dengan mengikuti upacara dan ritual yang layak dan tepat, jiwa akan bebas dari
tubuh untuk dilahirkan kembali dan akhirnya menggapai Moksa, kelepasan atau
kebebasan dari ikatan duniawi.
Sumber:
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Ngaben
http://www.budayaindonesia.net/2014/02/Upacara-Adat-Ngaben-Bali.html?m=
Ni
Luh Made Pertiwi/Kompas.com
Periplus
Guide to Bali ; dan Indonesian Heritage Books:
Religion and Ritual
0 komentar:
Posting Komentar