Sesendok Debu
Oleh Alda Aladawiyah
Tiga
ribu rupiah. Hanya itu yang kudapat setelah hampir empat jam mengamen di lampu
merah ini. Panas dan teriknya matahari yang seolah membakar diriku tak kuhiraukan.
Kaos oblongku yang robek disana-sini telah basah oleh keringat yang mengucur
deras dari tubuhku. Tapi aku harus tetap disini. Uangku belum cukup untuk makan
bersama Ibu dan adik-adikku.
Beraneka
jenis kendaraan telah aku hampiri hanya demi meminta sesuap nasi. Mulai dari
taksi, angkot, truk-truk berasap, bus-bus umum maupun pariwisata, hingga
mobil-mobil mewah. Beraneka pula cara mereka memberiku uang. Ada yang memberi
sambil tersenyum ramah, tapi ada pula yang memberi dengan pandangan membuang
muka. Kebanyakan dari mereka memberiku receh. Dan memang sudah sepantasnya aku
mendapatkan receh, karena uang bernominal puluhan ribu hingga ratusan ribu tak
akan pernah didapatkan oleh pengamen seperti diriku.
Seperti
biasanya, ketika matahari telah meninggi dan sengatnya memanasi jalan raya,
perutku mulai berbunyi tanda kelaparan. Tapi kali ini rasa lapar itu melebihi
dari biasanya. Aku ingat bahwa saat pagi hari tadi aku hanya minum segelas air
putih. Walaupun begitu, aku merasa itu harus tetap diyukuri. Banyak pengamen
lainnya memalak orang-orang dengan todongan pisau tajam. Atau mereka dipukuli
hingga babak belur jika tak mau memberikan uangnya. Aku bersyukur karena tetap bisa mengisi perut
ini tanpa harus membuat orang lain menderita.
Lampu
itu berwarna merah lagi. Kulihat ada mobil sedan mewah berwarna hitam berhenti
di depanku. Mobil itu hitam mengkilat dan sangat bersih, saking bersihnya
sampai-sampai aku bisa melihat diriku sendiri di pintu mobil itu. Aku memulai
aksiku dengan menyanyikan lagu yang sedang trend akhir akhir ini sambil
memainkan alat musikku yang kubuat sendiri dari tutup-tutup botol minuman
bersoda. Beberapa detik kemudian, seorang wanita berkacamata hitam akhirnya
membuka jendela mobilnya.
“Nih
ambil,” kata wanita itu seraya melemparkan selembar uang kepadaku dengan kasar.
Belum sempat aku mengambil selembar uang yang jatuh tergeletak di atas jalan
aspal, wanita itu berkata lagi. “Sudah cepat pergi. Ganggu pemandangan aja!”
Aku berjalan mundur dan berdiri di atas trotoar. Mobil hitam itu melesat pergi.
Aku
mengambil selembar uang yang jatuh tergeletak di atas jalan aspal itu.
Alhamdulillah, lima ribu rupiah. Berarti total pendapatanku hari ini delapan
ribu rupiah. Itu tandanya siang ini juga adik-adikku bisa makan.
Aku
berlari menuju rumah berdinding kayu yang tak jauh dari jalan raya tempat biasa
aku mengamen. Di sana adik-adikku pasti sudah menungguku. Dan benar saja
dugaanku, Tina yang masih berumur sepuluh tahun itu sedang menggendong Iwang
yang menangis. Aku bergerak cepat mendekati mereka.
“Ibu
belum pulang?” tanyaku pada Tina.
“Belum,
mas..” kata Tina sambil menyerahkan Iwang ke pangkuanku. Hari sudah sangat
terik seperti ini saja Ibu belum pulang. Berarti krupuk yang Ibu jual belum
banyak yang laku.
Aku
membeli sebungkus mi instan untuk makan siang adik-adikku. Mereka memakannya
dengan lahap. Aku melihat mereka dengan iba. Mereka tak pantas mendapatkan
ujian sekeras ini. Andai saja Ayah tak meninggalkan kami dan Ibu...
Sudah
jam dua siang. Ibu belum saja pulang. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke pasar.
Jam segini biasanya Ibu sudah menyetorkan hasil jualan krupuk kelilingnya ke
majikannya. Aku berpesan pada Tina untuk menjaga Iwang.
Sesampainya
di pasar, aku segera mencari Ibu. Tapi sudah hampir setengah jam lamanya, aku
tak kunjung menemukan Ibu. Aku bahkan datang ke tempat Pak Kuri, majikan Ibu.
Tapi beliau berkata bahwa Ibu belum menemuinya untuk menyetorkan uang.
Tinggallah aku di sini, memutuskan untuk menunggu Ibu. Aku yakin, sebentar lagi
Ibu pasti pulang.
Aku
duduk di kursi kayu yang terletak di emperan pasar. Menunggu. Mataku tak
henti-hentinya menyapu sekumpulan orang yang berlalu-lalang di depanku. Aku
belum juga melihat wajah Ibu.
“Makanya
jangan pecicilan dong le...” kata
wanita paruh baya yang berhenti di depanku. Beras yang dibawanya tumpah. Dia
menjewer anaknya yang berusia sekitar sepuluh tahun itu sambil berlalu pergi.
Aku
menarik nafas panjang. Hidup ini memang tak bisa ditebak. Kapan saatnya aku
mendapatkan jatah bahagia dan kapan saatnya aku mendapatkan jatah derita. Tapi
aku tahu dan sangat yakin bahwa semua orang pasti mendapatkan keduanya. Secara
silih berganti.
Sudah
hampir sejam aku disini. Aku bertanya tanya dalam hati apakah krupuk jualan ibu
laku atau tidak. Bertanya-tanya dalam hati apa alasan yang membuat Ibu tak
kunjung pulang sampai sesore ini. Bagaimana jika Ibu pulang tanpa membawa
apa-apa? Ah tidak, aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Ibu pasti pulang
membawa makanan...
Aku
melihat beras yang jatuh berserakan di depanku. Tiba-tiba saja ada ide terbesit
dalam benak ini. Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjongkok di depan
beras-beras itu. Memungutnya. Ternyata beras milik wanita paruh baya tadi
tumpah lumayan banyak. Aku mengambil plastik hitam yang tergeletak di sampingku
dan mulai memungutinya dengan tanganku.
Sesampainya
di rumah, aku segera mencucinya sampai bersih dan mulai memasaknya. Iwang tak
henti-hentinya menangis. Aku tahu, pasti dia kelaparan. Aku menyuruh Tina untuk
membelikan beberapa permen agar Iwang berhenti menangis. Ibu belum juga pulang.
“Nasinya
sudah matang belum, mas?” tanya Tina sambil mengupas permen dan memasukkannya
ke dalam mulut Iwang.
“Belum
dek, sebentar lagi. Sabar ya..” jawabku. Aku meminum segelas air putih.
Kurasakan alirannya di dalam tenggorokanku. Dari tadi siang perut ini belum
diisi oleh apapun.
Tok
tok. Suara ketukan pintu. Tina dan Iwang berlari menuju pintu. Ternyata Ibu.
Aku keluar dari dapur dan menghampiri Ibu. Mata Ibu sembab.
“Ada
apa, bu?” tanyaku penuh heran.
“Maaf
ya le, Ibu lama sekali pulangnya. Uang hasil jualan krupuk ibu dirampas sama
preman. Ibu tak mungkin pulang tanpa bawa apa-apa. Jadi Ibu cari pekerjaan yang
langsung cepat dapat uang. Kebetulan rumah makan dekat persimpangan lagi ramai.
Karyawan mereka kewalahan dengan tumpukan piring-piring kotor. Akhirnya Ibu
jadi tukang cuci piring disana..” jelas Ibu panjang lebar. Aku meneteskan air
mata dan segera memeluk Ibu.
“Tak
apa bu. Lagipula aku sudah memasak nasi buat makan malam kita berempat. Tadi
kebetulan ada beras tumpah di pasar, jadi aku mengambilnya untuk kita makan...
“ kataku.
“Alhamdulillah,
Allah masih sayang sama kita ya le..”
Aku
memeluk Ibu semakin erat. Aku melempar pandangku ke langit malam melalui celah
atap seng kami yang berlubang. Malam ini penuh bintang. Kami berempat makan
nasi sambil tertawa bersama. Tak peduli walaupun hanya beberapa sendok. Tak
peduli walaupun penuh debu. Ya, Allah masih sayang sama kita, batinku dalam
hati.
0 komentar:
Posting Komentar