Percaya
Semburat merah terlihat di
langit senja. Matahari mulai menenggelamkan dirinya, dengan warnanya yang
kuning keemasan. Burung-burung berkicau dan terbang berkelompok, membentuk
suatu formasi yang sangat indah di langit. Angin berhembus pelan, membuat
dedaunan pohon melambai lambai. Sesekali riak ombak berjalan mendekati kakiku,
seakan ingin menyapa diriku yang sedang sendiri ini.
Esok
pagi, aku bersama tim dari Indonesia akan pergi ke Palestina untuk menyalurkan
bantuan-bantuan kepada mereka yang tentu saja sangat membutuhkannya. Setelah
diskusi dan rapat yang panjang, keputusan yang sangat dipikir matang-matang, perizinan
sana-sini yang begitu rumit, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Palestina.
Aku mengenggam pasir putih dan memandang langit
yang mulai gelap , seraya bertanya dalam hati, apakah yang sedang terjadi di
sana? Bagaimanakah keadaan anak-anak kecil yang masih suci tak berdosa itu?
Apakah mereka kedinginan? Apakah mereka kesakitan? Apakah mereka lapar?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menggelayut dalam pikiranku. Entahlah, aku
berusaha untuk siap menerima apapun yang akan terjadi sesampainya di sana.
Paginya,
aku bersama dua puluh sembilan orang lainnya siap berangkat. Kurasa ini
merupakan tugas yang berat, karena memikul amanah yang sangat besar. Kami
dipercaya dan diberi tanggung jawab oleh negara untuk menyalurkan seluruh
bantuan dari warga indonesia.
Akhirnya,
setelah melalui perjalanan yang sangat rumit dan melelahkan, dan dilakukan
secara sembunyi-sembunyi pula, kami sampai di negeri Palestina. Bersama dengan
tim dari Indonesia, kami menyalurkan makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Sesekali kami ikut bersembunyi bersama mereka di ruang persembunyian bawah
tanah, untuk menghindari serangan tiba-tiba Israel. Tempat ini sungguh gelap,
dengan satu-satunya penerangan hanyalah berasal dari obor yang menyala dan
mungkin tak akan bertahan lama. Sungguh memilukan melihat mereka yang masih
kecil-kecil, ada yang bahkan kakinya atau matanya hilang satu karena perang,
badan mereka yang sangat kurus, dan tangisan ketakutan mereka yang seolah tak
ada hentinya.
“Suara
apa itu?” tanyaku kaget ketika mendengar ledakan keras yang tampaknya berasal
dari atas. Seluruh rakyat palestina melafazhkan Allahu Akbar ketika ledakan itu
terjadi, lalu bersikap seperti biasa setelahnya.
“Bom
lagi,” jawab seorang kakek tua yang sedang makan di sampingku. Ia tampaknya
terbiasa mendengar suara ledakan, dan seolah tak khawatir dengan apa yang akan
terjadi selanjutnya. “Dalam sehari, selalu ada sekitar sepuluh ledakan, dan
kami hanya takut kepada Allah. Tugas kami hanyalah berjihad dan mempertahankan
diri. Kami percaya Allah tetap menolong kami,” lanjutnya.
Aku
melihat sekelilingku, anak-anak kecil itu kini makan dengan lahapnya, bersama
dengan yang lainnya. Mereka semua saling menganggap sebagai keluarga yang satu
dengan yang lainnya. Ekspresi ketakutanku berubah menjadi bahagia yang tiada
taranya.
Aku
melihat dua anak kakak beradik sedang duduk bersama. Kakaknya memegang Alquran,
tampaknya sedang menyimak bacaan dari adiknya. Adiknya masih sangat kecil
sekali, kaki kirinya sudah tak ada. Bacaannya merdu dan tartil. Aku
menghampirinya, mengamatinya, dan menunggunya hingga selesai. Kedua anak itu
akhirnya selesai dan memandangku. Akupun tersenyum kepada mereka.
“Siapa
namamu, anak cantik?” tanyaku pada mereka.
“Aku
Amira, dan ini Atifa adikku,” kata sang kakak.
“Berapa
umurmu sayang?”
“Aku 12
tahun, dan adikku 6 tahun,”
“Sejak
kapan kalian menghafal Alquran?” tanyaku kepada mereka penuh penasaran.
“Sejak
kami lahir, kami sudah diajari dan dibekali almarhum kedua orang tua kami untuk
menghafal Alquran,” kata sang kakak. Sang adik hanya diam memandangku. Aku
pernah membaca di sebuah situs bahwa Israel sangatlah takut terhadap anak-anak
penghafal Alquran di palestina. Itulah alasan mengapa setengah dari korban serangan
israel adalah anak-anak. Menyadari hal itu akupun malu terhadap diriku sendiri
yang semangat menghafalnya jauh lebih rendah dari mereka.
Sudah
dua hari aku berada di palestina, dan mengikuti kebiasaan mereka sehari hari.
Setiap hari selalu ada yang meninggal, sehingga kami sholat jenazah setiap
hari, diselingi dengan iringan isak tangis beberapa di antara kami. Mereka
merakit senjata setiap hari, mengatur strategi setiap hari, dan mencari tempat
persembunyian berikutnya. Mereka semua menghafalkan Alquran setiap saat.
Penduduk kristen palestina bahkan bersatu dengan penduduk muslim untuk melawan
penjajah yahudi .
Suatu hari ada penggeledahan
oleh orang-orang israel, kami yang sedang makan bersama terpaksa harus berlari
dan bersembunyi. Aku menggendong Atifa dan menggandeng tangan Amira. Ada dua
terowongan yang harus kami pilih, lalu seorang kakek tua menyuruh untuk memilih
sebelah kanan. Ketika kami ingin berbelok ke kanan, kakek tua itu malah
berbelok ke kiri.
“Kek, mengapa kakek berbelok ke
kiri?” tanyaku heran kepadanya.
“Ini adalah cara kami untuk
mencegah mereka berbelok ke kanan. Tentara israel akan berpencar jika mereka
kehilangan jejak, akan tetapi jika salah satu lorong meyakinkan, mereka semua
akan fokus ke lorong itu. Aku akan membuat suara di lorong kiri ini, sehingga
mereka yakin untuk berjalan ke lorong ini,” kata-katanya tegar sekali, dan penuh
pengorbanan. “Harus ada korban yang muncul
jika ingin yang lain selamat,” lanjutnya dengan tegas. “Tenang saja, aku akan
mencari jalan keluar dari sini. Percayalah, Allah tetap menolong kita,”
Akhirnya aku meneruskan untuk
berlari sambil menggendong Atifa ke lorong sebelah kanan. Rasa cemas dan takut
mengiringi langkah kami, semua orang berzikir dalam diam dan berusaha tidak
membuat suara di lorong yang gelap ini. Obor telah kami matikan agar tak
terlihat dari kejauhan oleh tentara-tentara israel itu.
Tak lama setelah itu, kami
akhirnya selamat dari kejaran dan menemukan tempat untuk bersinggah. Hal yang
kusedihkan adalah lima orang dari tim Indonesia tidak ada bersama kami, dan
ternyata ikut bersama kakek tua itu. Aku semakin khawatir ketika sudah berhari
hari tak ada kabar dari mereka.
Seseorang muncul dari kejauhan
dan berjalan terengah-engah. Dia bercerita bahwa kakek tua tadi bersama lima
orang indonesia telah tertembak mati oleh tentara Israel. Mendengar itu,
beberapa orang dari tim kami menangis dan tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Kita harus pulang ke
Indonesia,” kata seorang pemimpin tim Indonesia kepadaku. Situasi disini memang
sulit, akan tetapi aku sama sekali tak tega meninggalkan mereka, terutama
anak-anak kecil ini di sini. Terutama Atifa yang sedang kugendong ini.
“Tidak. Kurasa kita tetap harus
disini dan memastikan mereka semua aman,” kataku kepada tim yang tersisa.
“Tidak mungkin, kita sudah
hampir dua minggu di sini, dan peperangan ini tak pernah berhenti. Tugas kita
sudah selesai kan? Jangan terlibat lebih jauh lagi,” kata seorang wanita di
timku.
“Lalu kalian dengan teganya
meninggalkan mereka? Bagaimana jika kalian berada di posisi mereka? Anak-anak
kecil ini butuh perlindungan!” Air mataku mulai tumpah. Apakah tak ada yang menaruh
belas kasihan kepada mereka?
“Dengar, lima orang dari kita
sudah meninggal. Kita tak bisa berlama-lama di sini,” kata pemimpin dari timku.
Kami berdebat panjang dan aku semakin tak bisa menahan isak tangisku. Seluruh
tim yang tersisa juga ingin segera meninggalkan palestina. Akhirnya dengan amat
sangat terpaksa, kami memutuskan untuk
pulang ke Indonesia.
Aku memandang Amira dan Atifa.
Wajah mungil nan lucu itu sama sekali tak pantas menerima semua ini. Aku hendak
membawa mereka pulang ke Indonesia, akan tetapi jawaban mereka sangat membuatku
terpana.
“Jika kami meninggalkan palestina, lalu siapa
yang akan mempertahankan bumi palestina? Siapa yang akan menjaga masjid Al
Aqsha?” kata Amira, kata-katanya penuh keyakinan dan tanpa ragu sama sekali. Dia
memandangku lekat-lekat. “Allah tetap menolong kami, jika tidak saat ini,
mungkin di surga nanti,” Dia menggenggam tanganku erat sekali.
Akhirnya aku meninggalkan mereka
dengan tangisan yang tak tertahankan. Mereka berdua juga menangis. Aku mencium
kening mereka dan mendoakan mereka, berharap suatu saat kebahagiaan akan
menghampiri mereka. Kami semua pamit kepada warga palestina, berterima kasih
atas pelajaran hidup yang sangat berharga.
“..dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat
Allah hanyalah orang-orang yang kafir”. (QS Yusuf ayat
87)
0 komentar:
Posting Komentar